Minggu, 20 November 2011
Jumat, 11 November 2011
UMKM Indonesia VS Prinsip Ekonomi Syariah
Minggu, 02 Oktober 2011 10:16 WIB
Oleh: Any Setianingrum ME Sy
Indonesia memiliki 51,3 juta unit UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) atau sekitar 99,91 persen dari total pelaku usaha bergerak di sektor UMKM (2009). Terdapat 97,1 persen (sekitar 90,9 juta) tenaga kerja di negeri ini yang bergantung pada sektor UMKM. Dengan jumlah penduduk 237,6 juta (2010) dan SDA yang dimiliki seharusnya Indonesia memiliki basis-basis UMKM yang kuat. Keberhasilan UMKM adalah keberhasilan masyarakat Indonesia, sebab sektor ini merupakan jumlah mayoritas dan memberikan kontribusi kepada negara pada banyak bidang. Data tahun 2009, kontribusi UMKM terhadap PDB sebesar Rp 2.609,4 triliun atau mencapai 55,6 persen. Kontribusi UMKM terhadap devisa negara sebesar Rp.183,8 triliun atau 20,2 persen, kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional 2-4persen, dan merupakan nilai investasi yang signifikan mencapai Rp.640,4 triliun atau 52,9 persen.
Seharusnya Indonesia adalah rumah yang bersahabat bagi UMKM. Namun pada kenyataannya, tidak ringan kendala dan tantangan yang harus dihadapi sektor UMKM selama Republik ini berdiri. Diantara kendala klasik adalah permodalan, collateral, legalitas, akses pasar dan kualitas SDM. Salah satu contoh konkretnya, walaupun pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan dan peraturan guna menumbuhkembangkan UMKM, pada kenyataannya dari data tahun 2010, baru sekitar 30 persen UMKM yang mendapat akses pelayanan bank dan lembaga keuangan lainnya.
Sudah seharusnya berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah dikeluarkan untuk mendukung tumbuh kembang UMKM. Regulasi yang tidak adil akan menyebabkan berkurangnya produktivitas, meningkatnya ketergantungan pada impor, berkurangnya daya saing, dan menekan penghasilan masyarakat khususnya lapisan bawah, dan pada akhirnya perkembangan UMKM tersebut sulit terwujud. Pemegang kendali di negeri ini harus memiliki komitmen kuat pada kepentingan rakyat banyak, karena tindakan yang hanya mengamankan kepentingan individu/kelompok baik dengan regulasi yang tidak adil maupun praktek KKN/lainnya tidak akan menjamin tujuan individu/kelompok tersebut terkabul. Perjalanan keuntungan materi yang didapat dari kegiatan batil tidak ada yang bisa menjamin sampai pada tempatnya/tujuannya seperti yang diharapkan pelaku, justru bisa memberikan hasil sebaliknya kepada pelaku tersebut. Karena itulah regulasi harus dibuat benar-benar untuk kemaslahatan masyarakat luas.
Peluang bidang produk dan jasa masih sangat luas untuk digarap UMKM mengingat besarnya potensi sumber daya yang ada di wilayah Indonesia yang terbentang pada 17.504 pulau. Lingkaran peluang tersebut harus dipecahkan oleh berbagai elemen pelaku usaha dan lembaga/institusi terkait dengan pemerintah sebagai katalisatornya.
Bagaimana sulitnya menjadi pelaku usaha di negeri ini bisa digambarkan berdasarkan pemeringkatan Doing Business 2011, atau kemudahan berbisnis untuk wiraswasta lokal, yang dirilis Bank Dunia. Indonesia berada di peringkat 121 dari 183 negara, terhadap aspek-aspek regulasi bisnis kunci untuk perusahaan lokal. Peringkat 121 tersebut hampir sejajar dengan negara-negara kecil di Afrika, dan dibanding tahun lalu yang berada diperingkat 115, artinya tahun ini memburuk. Padahal secara keseluruhan yang terjadi di negara-negara di seluruh dunia, lebih dari setengah regulasi telah berubah dalam 5 tahun terakhir sehingga lebih mempermudah permulaan bisnis, perdagangan dan pembayaran pajak.
Penulis adalah akademisi dan pengamat ekonomi syariah
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Langganan:
Postingan (Atom)